Kumpulan Tafsir An Nashr

Surah An Nashr (Pertolongan)

Surah ke-110. 3 ayat. Madaniyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-3: Membicarakan wacana Fat-hu Makkah dimana ketika itu kaum muslimin menjadi mulia dan agama Islam tersebar ke jazirah Arab, dan tanda selesainya kiprah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (١) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (٢) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (٣)

1. [1]Apabila telah tiba pertolongan Allah[2] dan kemenangan[3],

2. dan engkau melihat insan berbondong-bondong[4] masuk agama Allah (Islam),

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat[5].

KANDUNGAN AYAT :

[1] Dalam surah ini terdapat kabar gembira, perintah kepada Rasul-Nya ketika memperoleh kabar gembira itu, instruksi dan pemberitahuan yang akan terjadi setelahnya.

Kabar gembira itu ialah pertolongan Allah kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, penaklukkan Mekah dan masuknya insan secara berbondong-bondong kepada agama Allah, yakni banyak yang menjadi pemeluk agamnya dan pengikutnya sesudah sebelumnya sebagai musuhnya, dan kabar gembira ini pun terjadi. Setelah hal itu terjadi, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersyukur kepada Tuhannya terhadap hal itu, bertasbih dengan memuji-Nya dan meminta ampunan kepada-Nya. Sedangkan instruksi yang ada di sana ada dua isyarat:

Pertama, instruksi bahwa pertolongan Allah itu akan terus berlanjut kepada agama ini dan akan bertambah ketika dilakukan tasbih sambil memuji-Nya dan beristighfar dari Beliau, alasannya ialah hal ini termasuk syukur, sedangkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah berjanji, bahwa jikalau insan bersyukur, maka Dia akan menambah nikmat-Nya, dan hal ini terbukti, menyerupai yang terlihat di zaman para khulafa’ raasyidin dan setelahnya bahwa pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala senantiasa berlanjut kepada umat ini, sehingga agama Islam telah hingga kepada puncaknya yang tidak sanggup ditandingi oleh agama-agama selainnya, dan telah masuk ke dalamnya insan dalam jumlah yang banyak hingga terjadilah pada umat ini penyimpangan kepada perintah Allah, maka Allah menguji mereka dengan terpecah belahnya kalimat mereka dan terjadilah apa yang terjadi. Meskipun demikian, untuk umat dan agama ini ada rahmat dan kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang tidak disangka-sangka.

Kedua, instruksi bahwa kematian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah semakin dekat. Alasannya ialah bahwa umur Beliau ialah umur yang utama, dan sudah maklum bahwa hal-hal yang utama ditutup dengan istighfar menyerupai shalat, haji, dsb. Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam memuji dan beristighfar dalam keadaan menyerupai ini sehingga terdapat instruksi bahwa ajalnya hampir tiba, oleh alasannya ialah itu hendaknya Beliau berkemas-kemas untuk bertemu Tuhannya dan mengakhiri umurnya dengan yang paling utama yang sanggup Beliau lakukan. Oleh alasannya ialah itulah, Beliau menakwilkan surah itu dan banyak mengucapkan dalam ruku’ dan sujudnya, “Subhaanakallahumma wabihamdika Allahummaghfirliy.” (artinya: Mahasuci Engkau yang Allah dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku).

[2] Kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap musuh-musuhnya.

[3] Yakni fat-hu (penaklukkan) Mekah.

[4] Setelah sebelumnya seorang demi seorang yang masuk Islam. Namun sesudah penaklukkan Mekah, maka bangsa Arab dari banyak sekali penjuru banyak yang tiba menemui Beliau menyatakan diri masuk Islam.

[5] Dengan turunnya surah ini diketahui, bahwa kematian Beliau telah semakin dekat; penaklukkan Mekkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriah, sedangkan wafatnya Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Awwal pada tahun ke-11 Hijriah.

=======================

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

1. Apabila telah tiba pertolongan Allah dan kemenangan.
2. Dan kau lihat insan masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia ialah Maha Menerima taubat. [an-Nasr/110 : 1-3]

Surat an-Nashr, dikenal juga dengan sebutan surat at-Taudi’ (perpisahan) [1]. Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama sebagai madaniyyah. Maksudnya, turun sesudah insiden hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan termasuk surat yang terakhir diturunkan. [2]

Dalilnya yaitu:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي ) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ

Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang turun secara keseluruhan?” Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”.[3]

Secara pasti, terdapat silang pendapat di kalangan ulama tafsir. Ibnu Rajab rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum Fathu Makkah. Karena firman Allah :

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

Menunjukkan dengan sangat terperinci kalau penaklukan kota Mekkah belum terjadi [4].

PENJELASAN AYAT

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

1. (Apabila telah tiba pertolongan Allah dan kemenangan).

Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[5]
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, berdasarkan Ibnu Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil dia menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya. [6]

Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,”Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya n pada ketika kemunculannya. Kabar gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan insiden penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah lSubhanahu wa Ta’ala dengan berbondong-bondong.”[7]

Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi mengungkapkan: “Jika telah tiba pertolongan Allah bagimu wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang engkau jalani, dan tiba anugerah penaklukkan, yaitu penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan tempat kekufuran”. [8]

Adapun pengertian al fathu pada surat ini ialah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.” [9]

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pendapat senada. [10]

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

2. (Dan kau lihat insan masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).

Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:

وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ

(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: “Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika dia menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur”. Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]

Menurut Imam al Qurthubi, insiden tersebut terjadi ketika kota Mekkah berhasil dikuasi.

Bangsa Arab berkata: “Bila Muhammad berhasil mengalahkan para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”. [12]

Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi penjelasan: “Saat terjadi insiden penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.[13]

Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah ketika dilantunkannya tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian sanggup kita jumpai pada masa khulafaur-rasyidin dan generasi sesudah mereka.

Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu akan berlangsung terus-menerus hingga Islam masuk ke tempat yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.[14]

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

3. (Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia ialah Maha Menerima taubat).

Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: “Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”. Inilah keterangan yang dia rajihkan.[15
.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Tidaklah Rasulullah n mengerjakan shalat sesudah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan kebanggaan kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)”. [16]

Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: “(Maksudnya) Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya, manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita”. Pernyataan ini muncul, ketika ‘Umar bin al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai kandungan surat an-Nashr.[17]

Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari klarifikasi ini dengan berkata: “Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar Radhiyallahu ‘anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti penguat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa dia mengucapkan salam pada setiap dua raka’at di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu ‘anhu pada hari penaklukan kota Mada-in”.[18]

إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

4. (Sesungguhnya Dia ialah Maha Menerima taubat).

Maksudnya, Allah Maha mendapatkan taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan mendapatkan taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang lain?[19]

ISYARAT LAIN DARI MAKNA KEMENANGAN
Selain makna yang sudah dikemukakan di atas, juga terdapat pengertian lain yang terkandung dalam surat yang mulia ini.

Menurut Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah, ayat ini menjadi instruksi mengenai (datangnya) kematian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah bersahabat dan hampir tiba. Bahwa umur dia ialah umur yang mulia, Allah bersumpah dengannya. Sudah menjadi kebiasaan pada perkara-perkara yang mulia ditutup dengan istighfar, contohnya shalat, haji dan ibadah lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengucapkan kebanggaan dan istighfar dalam keadaan menyerupai ini, sebagai instruksi wacana kematian dia yang akan berakhir. (Maksudnya), hendaknya dia berkemas-kemas untuk menjumpai Rabbnya dan menutup usianya dengan amalan terbaik yang ada pada dia alaihis shalatu wassalam.

Ibnul Jauzi rahimahullah sendiri menawarkan pandangannya mengenai ayat ini. Beliau rahimahullah berkata,”Para ulama tafsir mengatakan, telah disampaikan dan diberitahukan kabar wafat beliau, dan sungguh waktu kematian dia sudah dekat. Maka diperintahkan untuk bertasbih dan istighfar guna menutup usia dengan komplemen amalan shalih.” [20]

Begitu pula yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr al Jazairi: “Ayat ini membawa tanda dekatnya kematian bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [21]

Imam al Bukhari rahimahullah dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita:

Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bersama orang-orang renta yang ikut serta dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai kehadiranku. Ada yang berkata: “Kenapa (anak) ini masuk bersama kita. Padahal kita juga punya bawah umur menyerupai dia?”

‘Umar menjawab,”Sungguh, kalian mengetahui (siapa dia),” maka suatu hari ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu memanggilku dan memasukkanku bersama mereka. Tidaklah saya berpikir alasan dia mengundangku, selain ingin menunjukkan kapasitasku kepada mereka.

Beliau berkata (kepada orang-orang): “Apakah pendapat kalian wacana firman Allah:”idza ja`a nashrullahi wal fath”.

Mereka menjawab,”Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita.” Sebagian orang melongo (tidak menjawab). Kemudian ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu beralih kepadaku: “Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ) menjawab,”Tidak!”
‘Umar bertanya,”Apa pendapatmu?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma) menjawab,”Itu ialah (kabar tentang) kematian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukannya kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “”idza ja`a nashrullahi wal fath”. Dalam keadaan menyerupai itu terdapat tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”

‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkomentar: “Tidaklah yang kuketahui darinya (surat itu), kecuali apa yang engkau sampaikan”.[22]

Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْكَلِمَاتُ الَّتِي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُولُهَا قَالَ جُعِلَتْ لِي عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِي إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ

Sebelum wafat, Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Aisyah bertanya,”Wahai Rasulullah untuk apakah kata-kata yang saya melihat engkau tidak biasa engkau ucapkan?” Beliau menjawab,”Telah ditetapkan bagiku sebuah tanda pada umatku. Bila saya telah menyaksikannya, saya akan mengucapkannya (kata-kata tadi) : idza ja`a nashrullahi wal fath …dst.” [23]

Dalam riwayat lain:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِي فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَدْ رَأَيْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ فَتْحُ مَكَّةَ …

Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Maka saya bertanya: “Aku melihatmu memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik,” Beliau menjawab,”Rabbku telah memberitahukan kepadaku, bekerjsama saya akan menyaksikan tanda pada umatku. Jika saya melihatnya, saya akan memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik. Sungguh saya telah menyaksikannya idza ja`a nashrullahi wal fath.” Al fathu, maksudnya penaklukan kota Mekkah…dst. [24]

Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu ‘Abbas menyampaikan wacana surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dia lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat”.[25]

APA YANG DIAMPUNI DARI DIRI RASULULLAH n YANG MULIA?
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap memanjatkan permohonan ampunan, padahal dosa-dosa dia sudah terampuni, baik yang sudah berlalu maupun yang akan datang?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya mengangkat pandangan Ibnu Katsir yang menggambarkan kesempurnaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Katsir berkata: “Pada seluruh urusannya, dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam ketaatan, kebaikan, istiqamah yang tidak terdapat pada insan lainnya, baik dari kalangan orang-orang terdahulu, maupun generasi kemudian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah insan paling tepat secara mutlak, dan pemimpin insan di dunia dan akhirat”. [26]

Al Qadhi Ibnul ‘Arabi mengungkapkan alasannya, para ulama hadits meriwayatkan, bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, dia memanjatkan doa yang berbunyi:

رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Ya Allah, ampunilah kesalahanku, tindak kebodohanku, perilaku berlebihanku dalam seluruh urusanku, dan yang Engkau lebih mengetahuinya. Ya Allah, ampunilah kesalahan-kesalahanku, kesengajaanku dan kebodohanku, gurauanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang sudah saya kerjakan dan apa yang belum saya kerjakan, apa yang saya sembunyikan dan apa yang saya tampakkan. Engkaulah Dzat Yang mendahulukan (dan menempatkannya pada tempatnya), dan Engkau Dzat yang mengundurkan (dan menempatkannya pada tempatnya) dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.[27]

Selanjutnya, Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Semua itu ada pada diriku begitu banyak. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (beliau) terbebas darinya. Hanya saja, dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap (amalan) pribadinya sedikit, karena begitu besarnya curahan nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang “kekurangan” dalam menjalankan hak kenikmatan tersebut (dengan beribadah) sebagai dosa-dosa. Sementara dosa-dosaku, saya lakukan dengan penuh kesengajaan, tak acuh, dan merupakan pelanggaran yang nyata. Semoga Allah l masih sudi membuka pintu taubat dan menganugerahkan sumbangan dengan karunia, kemurahan dan rahmat-Nya, tiada Rabb selain-Nya”. [28]

Al Imam al Qurthubi, selain mengemukakan alasan senada di atas, dia juga membawakan beberapa keterangan lain. Bahwa maksud permohonan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah: (1) Memintakan ampunan bagi umatmu. (2) Istighfar merupakan ibadah yang harus dikerjakan, bukan untuk memohon ampunan, akan tetapi untuk ta’abbud (ibadah). (3) Untuk mengingatkan umat beliau, biar jangan merasa kondusif (dari dosa) sehingga meninggalkan istighfar. [29]

Al Qadhi ‘Iyadh berpendapat, permohonan ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan cermin ketawadhuan, ketaataan dan ketundukan, serta ungkapan syukur dia kepada Rabbnya, karena mengetahui dosa-dosanya sudah diampuni.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip keterangan Imam ath-Thabari rahimahullah wacana dilema ini, yang memberikan alasan, bekerjsama dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar ialah untuk melakukan perintah Allah yang ditujukan kepada beliau, yaitu biar bertasbih dan memohon ampunan, bila tiba pertolongan dari Allah dan penaklukan (kota Mekah). Selain itu, al Hafizh juga menukil klarifikasi al Qurthubi (penulis al Mufhim), bahwasannya terjadinya dosa dari para nabi ialah mungkin, alasannya ialah mereka juga orang-orang mukallaf, hingga khawatir kalau itu terjadi pada diri mereka, dan jadinya tersiksa karenanya. Pendapat lainnya, yaitu biar umatnya meneladani dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[31]

SEBAB-SEBAB DITURUNKAN AMPUNAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Mengenai faktor-faktor yang sanggup mendatangkan turunnya maghfirah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di rahimahullah menghitungnya berjumlah empat.

Pertama : Taubat. Yaitu kembali kepada Allah dari keadaan yang tidak disukai-Nya, baik zhahir maupun batin, menuju keadaan yang dicintai oleh-Nya zhahir dan batin. Taubat ini akan menghapus dosa-dosa, besar kecil sebelumnya.

Kedua : Keimanan. Yaitu ratifikasi dan pembenaran yang mantap lagi menyeluruh terhadap semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang mengharuskan pelaksanaan amalan-amalan hati, yang diikuti dengan amalan-amalan jawarih (anggota tubuh). Tidak disangsikan, kadar keimanan sanggup menghapus dosa-dosa yang sudah terjadi dan sanggup menghalanginya dari terjerumus ke dalam dosa. Sesungguhnya seorang mukmin, dengan keimanan dan pancaran keimanan yang tertancap berpengaruh di dadanya, ia tidak sudi menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.

Ketiga : Amalan Shalih. Ini meliputi seluruh amalan, amalan hati, amalan jawarih, ucapan-ucapan lisan. Sebab kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.

Keempat : Istiqamah di atas keimanan dan hidayah serta berusaha mendulang tambahannya.

Siapa saja yang berhasil menempuh empat langkah ini, bergembiralah dengan mendapatkan ampunan dari Allah yang menyeluruh.[32] Pijakan yang digunakan sebagai landasan Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah atas keterangan tersebut, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, berzakat shalih, kemudian tetap di jalan yang benar” [Thaha/20:82]

PELAJARAN DARI SURAT AN-NASHR
– Banyaknya anugerah Allah yang dikaruniakan kepada umat Islam.
– Kewajiban bersyukur manakala kenikmatan tercurahkan. Di antaranya dengan sujud syukur.
– Kewajiban untuk selalu beristighfar setiap saat.

Maraji`:
1. Aisar at-Tafasir li Kalamil-‘Aliyyil-Kabir, Abu Bakar Jabir al Jazairi, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal- Hikam, al Madinah al Munawwarah, KSA.
2. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M, Dar al Kitab al ‘Arabi.
3. Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar.
4. Ikmalul-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, al Qadhi ‘Iyadh, Tahqiq Dr. Yahya Isma’il, Darul Wafa, Cetakan I, Tahun 1419 H / 1998 M.
5. Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M, Dar Ibni Hazm.
6. Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali, Tahqiq ‘Abdullah al ‘Ajmi.
7. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
8. Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
9. Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, ‘Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
10. Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman bin ‘Ali (Ibnul Jauzi), Tahqiq ‘Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001M, Darul Kitabil ‘Arabi.

Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007. ]
_______
Footnote
[1]. Jami’ul-Bayan (20/211)
[2]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 37, Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (8/513), Zadul Masir (4/501).
[3]. HR Muslim, Kitabut-Tafsir no. 3024.
[4]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 41.
[5]. Al Jami li Ahkamil-Qur`an (20/211).
[6]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 42.
[7]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
[8]. Aisarut-Tafasir (2/1500).
[9]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
[10]. Jami’ul Bayan ‘an Ta`wili Ayil-Qur`an (15/426), Zadul-Masir (4/ 501), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211), Aisarut-Tafasir (2/1500).
[11]. HR al Bukhari di dalam al Maghazi, 4302, dan lainnya.
[12]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/212)
[13]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
[14]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
[15]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211).
[16]. HR al Bukhari, Kitabut-Tafsir (4967) dan Muslim.
[17]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215)
[18]. Tafsir Quranil Azhim 8/511-512 dengan dirigkas
[19]. Al-Jami Li Ahkamil Qur’an (20/215)
[20]. Zadul-Masir (4/501).
[21]. Aisarut-Tafasir, hlm. (2/1500).
[22]. HR al Bukhari no. 4430, 4970.
[23]. HR Shahih Muslim, Kitabush-Shalah Bab Ma Yu Qaalu Fir Ruku was Sujud no.484
[24]. ibid
[25]. Tafsir an-Nasa-i (2/566-567 no. 732). Syaikh Ahmad Syakir menilai sanadnya shahih. Dikutip dari Tafsir ash-Shahih, karya Dr. Hikmat bin Basyir, Cetakan I, Tahun 1420 H – 1999 M, Darul Ma-atsir Madinah, 4/677.
[26]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (7/328) pada tafsir surat al Fath ayat 1-2.
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan kepadamu kemenangan yang nyata. supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah kemudian dan yang akan datang”
[27]. HR al Bukhari dalam Kitabud Da’awat (al-Fath 14/438) Makna al Muqaddim dan al Muakhkhir berasal dari pengertian yang ditulis Ibnul Atsir di dalam an-Nihayah. Makna ini juga disepakati oleh Syaikh al Albani. Dikutip dari Syarhu Shahihil-Adabil-Mufrad, karya Hushain bin ‘Audah al ‘Awayisyah, Cetakan I, Tahun 1423 H/2003 M, Maktabah Islamiyah, 2/333.
[28]. Zadul Masir (4/350).
[29]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215).
[30]. Ikmalul-Mu’lim (8/214).
[31]. Fathul-Bari ( / ).
[32]. Taisirul Lathifir-Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, hlm. 186-187 secara ringkas.
===============
al Ustadz Abu Muawiyyah Askari bin Jamal

1.Surat an NashrArchive1.3 MB

Abu Abdillah Muhammad Asnur Download Audio Tafsir al Qur'an Surat An-Nasr
Abdullah Shaleh Hadrami Download Audio Tafsir al Qur'an Surat An-Nasr

Posting Komentar untuk "Kumpulan Tafsir An Nashr"