Kumpulan Tafsir Al Humazah

Surah Al Humazah (Pengumpat)

Surah ke-104. 9 ayat. Makkiyyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-9: Celaan kepada orang yang menggunjing orang lain sebagaimana tercelanya orang yang menimbun hartanya sehingga tidak berinfak, dan akhir yang akan mereka peroleh.

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (١) الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ (٢) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (٣) كَلا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ (٤) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ (٥) نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ (٦) الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الأفْئِدَةِ (٧) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ (٨) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (٩

Terjemah Surat Al Humazah Ayat 1-9

1. Celakalah[1] bagi setiap pengumpat dan pencela[2],

[1] Kata ‘wail’ merupakan kata siksaan, bahaya dan kerasnya azab, atau sebuah lembah di neraka Jahannam.

[2] Menurut penyusun tafsir Al Jalaalain, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang sering menggunjing Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum mukmin, menyerupai Umayyah bin Khalaf, Walid bin Mughirah dan lain-lain, wallahu a’lam.

Humazah artinya yang mencela insan dengan kode dan perbuatannya, sedangkan lumazah ialah yang mencela dengan ucapannya. Di antara sifat para pengumpat (penggunjing) lagi pencela ialah menyerupai yang disebutkan dalam ayat selanjutnya, yaitu tidak ada maksud selain mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, tidak suka beramal di jalur-jalur kebaikan, menyambung tali silaturrahim, dan sebagainya.

2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya[3],

[3] Maksudnya mengumpulkan dan menghitung-hitung harta yang membuatnya menjadi kikir dan tidak mau menginfakkannya di jalan Allah.

3. dia (manusia) mengira[4] bahwa hartanya itu sanggup mengkekalkannya[5],

[4] Karena kebodohannya.

[5] Yakni membuatnya kekal dan tidak mati. Oleh sebab itulah, perjuangan kerasnya hanya untuk berbagi hartanya yang ia kira sanggup memanjangkan umurnya. Ia tidak menyadari, bahwa kebakhilan sanggup mengurangi umur dan merobohkan daerah tinggalnya, sedangkan kebaikan sanggup menambah umur.

4. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah[6].

[6] Disebut ‘Huthamah’ sebab ia memecahkan segala sesuatu yang dilempar ke dalamnya.

5. Dan tahukah kau apakah (neraka) Huthamah itu?[7]

[7] Kalimat ini untuk memperbesar perkaranya.

6. (Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan[8],

[8] Yang materi bakarnya ialah insan dan batu.

7. yang (membakar tembus) hingga ke hati[9].

[9] Sehingga rasa sakitnya demikian pedih.

8. Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka,

9. (sedang mereka diikat) pada tiang-tiang yang panjang[10].

[10] Bisa juga diartikan ‘dalam tiang-tiang yang panjang’ yakni tiang-tiang di balik pintu yang panjang, biar mereka tidak sanggup keluar darinya. Kita berlindung kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dari neraka dan meminta kepada-Nya ampunan dan ‘afiyah (penjagaan).



===================

TAFSIR RINGKAS [Al-Humazah/104:1-9]

1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (humazah) lagi pencela (lumazah).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam dengan sebuah lembah di Jahannam yang mengalir di dalamnya bisul dan kotoran mahir neraka. Siksa itu diperuntukkan bagi humazah dan lumazah yaitu setiap orang yang suka ber-ghibah dan mencela, yaitu mereka yang suka mengadu domba.

2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.

Ini ialah sifat lain dari humazah dan lumazah. Mereka suka mengumpulkan harta yang banyak, tanpa perduli halal maupun haram.

3. Dia menduga bahwa hartanya itu sanggup mengkekalkannya,

Maksudnya dia menduga bahwa dengan banyak harta dia tidak akan mati. Padahal, semenjak kapankah harta sanggup menyelamatkan seseorang dari kematian?! Sesungguhnya ini ialah tipuan kehidupan. Seandainya harta sanggup mengekalkan manusia, maka tentu harta telah mengekalkan kehidupan Qârûn.

4. Sekali-kali tidak!

Hartanya tidak akan sanggup mengekalkannya. Akan tetapi, demi keperkasaan dan keagungan Kami, “Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah,” yaitu api yang dipanaskan yang sanggup menghancurkan semua yang dilemparkan ke dalamnya.

Dan tahukah kau apa huthamah itu?

Ini ialah pertanyaan untuk menggambar betapa besarnya dan ngerinya hal tersebut.

6. (Yaitu) api (yang disediakan) Allâh yang dinyalakan,

Maksudnya ialah api yang dinyalakan dan sangat panas, “yang (membakar) hingga ke hati.”

7. Sesungguhnya api itu mu’shadah atas mereka,

Artinya api tersebut ditutup rapat pintu-pintunya untuk mereka yang suka mengumpat lagi mencela.

8. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

Allâh-lah yang lebih mengetahui bagaimana cara penyiksaan terhadap mereka, sebab Allâh belum menunjukkan kepada kita cara pengadzabannya.[1]

PENJABARAN AYAT

Surat al-Humazah terdiri dari 9 ayat. Surat ini termasuk Makkiyyah[2], diturunkan sehabis surat al-Qiyâmah. Dinamai al-Humazah (pengumpat) sebab diambil dari lafazh Humazah yang terdapat pada ayat pertama surat ini.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ

(Wail) Celakalah bagi setiap humazah lumazah

Arti wail (Celakalah). Arti dari wail ialah kerugian (al-khizyu), adzab dan kebinasaan. Disebutkan juga pendapat lain, yaitu wail merupakan sebuah lembah di neraka Jahannam.[3]

UNTUK SIAPAKAH DITURUNKAN AYAT INI?

Para Ulama berselisih pendapat, untuk siapakah diturunkan ayat ini, yang dia mempunyai sifat menyerupai disebutkan di ayat ini? Di antara pendapat yang disebutkan adalah:
Ayat ini diturunkan untuk al-Akhnas bin Wahb ats-Tsaqafi, sebab dia dulu suka meng-ghîbah manusia. Ini ialah perkataan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu dan al-Kalbi rahimahullah.
Ayat ini diturunkan untuk Umayyah bin Khalaf al-Jahmi. Ini ialah pendapat Muhammad bin Ishaq rahimahullah, dia mengatakan, “Senantiasa kami mendengar bahwa surat al-Humazah diturunkan untuk Umayyah bin Khalaf al-Jahmi.”
Ayat ini diturunkan untuk al-Walid bin al-Mughirah, sebab dia suka meng-ghîbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari belakang dan mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pribadi di hadapannya. Ini ialah pendapat Muqâtil dan Ibnu Juraij rahimahullah.
Ayat ini diturunkan untuk Jamîl bin ‘Amir ats-Tsaqafi.
Ayat ini diturunkan umum untuk setiap orang yang mempunyai sifat di dalam ayat ini. Ini ialah pendapat Mujâhid dan ini ialah pendapat kebanyakan mahir tafsir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah.[4]

Allâhu a’lam, meskipun disebutkan nama tertentu oleh para mahir tafsir, maka bukan berarti orang yang selain yang disebutkan tidak termasuk di dalam ayat ini. Orang yang mempunyai sifat humazah dan lumazah sangat banyak.

ARTI HUMAZAH DAN LUMAZAH

Para ulama berselisih pendapat ihwal arti humazah dan lumazah. Di antara pendapat-pendapat yang disebutkan:
Dia ialah orang yang suka mengadu domba, memecah belah hubungan persahabatan antara orang-orang yang saling mencintai dan orang-orang yang menginginkan keburukan untuk orang-orang yang berlepas diri darinya. Dan arti humazah dan lumazah itu sama, yaitu suka mencela. Ini ialah pendapat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu .
Humazah ialah orang yang suka mengadu domba dan lumazah ialah orang yang suka mencela. Ini ialah pendapat lain dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu.
Humazah ialah orang yang suka mencela orang lain dikala orang yang dicela tidak ada di hadapannya, sementara lumazah ialah orang yang suka mencela pribadi di hadapan. Ini ialah pendapat Muqâtil rahimahullah
Kebalikan dari pendapat ketiga. Ini ialah pendapat Abul-‘Aliyah dan al-Hasan rahimahullah.
Humazah ialah orang yang suka memakan daging orang lain dan mengghibah (menggunjing) mereka sementara lumazah ialah orang yang suka mencela. Ini ialah pendapat Sa’id bin Jubair dan Qatadah rahimahullah
Humazah ialah orang yang mencela insan di hadapannya dan memukulnya, sedangkan lumazah yaitu orang yang mengolok insan dengan lisannya dan menjelek-jelekkan mereka. Ini ialah pendapat Ibnu Zaid rahimahullah.
Humazah ialah orang yang suka mengganggu temannya dengan perkataan yang buruk dan lumazah ialah orang yang mengejek dengan mata dan berisyarat dengan kepalanya. Ini ialah pendapat Sufyan ats-Tsauri rahimahullah. Ibnu Katsir rahimahullah juga menyebutkan bahwa hammâz (humazah) ialah yang mencela dengan perkataan, sedangkan lammâz(lumazah) ialah yang mencela dengan perbuatan.

Allâhu a’lam bish-shawab, ada baiknya kita melihat ayat lain yang bekerjasama dengan ayat ini. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ 

Yang hammâz (banyak mencela), yang kian ke mari mengadu domba. [Al-Qalam/68:11]

Dengan melihat sifat dari hammâz pada ayat ini maka kita mengetahui bahwa hammâz atau humazah ialah orang yang suka mencela dan salah satu sifatnya ialah suka mengadu domba. Dan tidak menutup kemungkinan si hammâz ini suka mencela dalam keadaan apapun dan memakai cara apapun dan si hammâz ini juga menginginkan keburukan kepada orang lain sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خِيَارُ عِبَادِ اللهِ الَّذِينَ إِذَا رُؤُوا ، ذُكِرَ اللَّهُ ، وَشِرَارُ عِبَادِ اللهِ الْمَشَّاؤُونَ بِالنَّمِيمَةِ ، الْمُفَرِّقُونَ بَيْنَ الأَحِبَّةِ ، الْبَاغُونَ الْبُرَآءَ الْعَنَتَ.

Sebaik-baik hamba Allâh ialah yang apabila mereka dilihat maka Allâh diingat[5] dan seburuk-buruk hamba Allâh ialah orang-orang yang suka mengadu domba, memecah belah hubungan antara orang-orang yang saling mencintai dan orang-orang yang menginginkan keburukan/kesusahan untuk orang-orang yang berlepas diri darinya.”[6]

Dengan demikian arti Humazah yang disebutkan oleh mahir tafsir di atas, tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu orang yang suka mencela, meng-ghiibah, mengadu domba dan menginginkan keburukan untuk orang lain.

Adapun arti lumazah, maka dia berkaitan dengan firman Allâh di dalam ayat lain. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَأَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ

Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu ihwal (distribusi) sedekah; bila mereka diberi sebagian darinya, mereka bersenang hati, dan bila mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta merta mereka menjadi marah. [At-Taubah/9:58]

Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla mengambarkan ihwal buruknya orang yang mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pribadi di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyampaikan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak adil. Dengan demikian, arti lumazah cenderung kepada orang yang suka mencela pribadi di hadapan orang yang dicela, dan sanggup saja dilakukan dengan gerak-gerik anggota tubuhnya. Allâhu a’lam.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ

Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.

Kemudian Allâh Azza wa Jalla mensifatkan mereka dengan sifat mereka yang suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.

As-Suddi dan Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya ialah mengumpulkan sebagian hartanya ke sebagian yang lain, serta menghitung-hitung jumlahnya, menyerupai perkataan Allâh:

وَجَمَعَ فَأَوْعَىٰ

Serta mengumpulkan (harta benda) kemudian menyimpannya [Al-Ma’ârij/70:18]

Muhammad bin Ka’ab rahimahullah mengatakan, “Hartanya melalaikannya di siang hari, (dengan selalu berkata), ‘(Harta) ini digabung dengan yang ini’, apabila di waktu malam dia tidur seperti dia ialah bangkai.”[7]

Adh-Dhahhâk rahimahullah mengatakan, “Dia menyiapkan hartanya untuk diwariskan ke anak-anaknya.” Di dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan perkataan lain[8] yaitu maksudnya ialah dia membangga-banggakan jumlah dan banyaknya hartanya. Dan yang dimaksud di sini ialah celaan sebab dia menahan hartanya dan tidak mempergunakannya untuk jalan-jalan ketaatan.

Setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Qalam/68 ayat ke-11, yaitu ayat:

هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

Yang hammâz (banyak mencela), yang kian ke mari mengadu domba.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ

Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” [Al-Qalam/68:12]

Ini menunjukkan orang yang suka mencela, mempunyai sifat suka mengadu domba dan menghalangi perbuatan baik.

Begitu pula bila kita perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَجَمَعَ فَأَوْعَىٰ

Serta mengumpulkan (harta benda) kemudian menyimpannya [Al-Ma’ârij/70:18]

Ini menunjukkan bahwa orang tersebut disibukkan dengan hartanya dan dia senantiasa menghitung-hitungnya. Hartanya hanya disimpan dan tidaklah dipakai untuk kebaikan atau ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Oleh sebab itu, ini merupakan peringatan kepada kita biar kita sanggup memakai harta dengan baik. Jika kita menyimpan harta, maka sudah seharusnya kita mengetahui tujuan penyimpanan harta tersebut, apakah untuk kebaikan dan ketaatan, ataukah hanya “mengendap” di tabungan tanpa ada kegunaan apapun.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ

Dia menduga bahwa hartanya itu sanggup mengkekalkannya.

Maksudnya ialah dia menyangka bahwa dia tidak akan mati dengan dia mempunyai harta yang banyak di dunia ini atau dia menyangka bahwa hartanya akan sanggup memanjangkan umurnya.[9]

Inilah tipuan harta dan dunia. Dia sanggup menciptakan orang lupa bahwa dia akan mati dan dia lupa bahwa hartanya pun tidak akan sanggup dibawa mati.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

كَلَّا ۖ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ ﴿٤﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kau apa Huthamah itu?

“Sekali-kali tidak!” Ini ialah bantahan untuk orang tersebut, hartanya tidak akan sanggup mengkekalkannya. “Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.”

Huthamah ialah salah satu nama neraka, semisal Saqar dan Ladzhaa. Dinamakan Huthamah sebab dia meremuk-remuk dan mematah-matahkan tulang-tulang.[10]

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Dia (al-Huthamah) ialah tingkatan keenam dari tingkatan-tingkatan neraka Jahannam. Ini diceritakan oleh al-Mawardi dari al-Kalbi. Dan diceritakan oleh al-Qusyairi darinya bahwa al-Huthamah ialah tingkatan kedua dari tingkatan neraka. Adh-Dhahhaak mengatakan, ‘Dia ialah tingkatan keempat.’ Ibnu Zaid mengatakan, ‘Dia ialah satu nama dari nama-nama neraka Jahannam.’.”[11]

Allâhu a’lam, berkaitan dengan perkataan Imam al-Qurthubi di atas, sebatas pengetahuan penulis, tidak ada dalil yang benar-benar sanggup dipertanggungjawabkan ihwal tingkatan-tingkatan neraka tersebut. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita berdiam diri terhadap hal-hal yang sifatnya gaib, sebab untuk berbicara ihwal hal-hal yang gaib, diharapkan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

“Dan tahukah kau apa Huthamah itu?” Pertanyaan ini untuk membesarkan dan mengagungkan halnya.[12]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ ﴿٦﴾ الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ

(Yaitu) api (yang disediakan) Allâh yang dinyalakan yang (membakar) hingga ke hati.

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “Tsabit al-Bunani mengatakan, ‘Api itu memperabukan mereka hingga ke hati-hati, dan mereka masih hidup,’ kemudian dia berkata, ‘Azab telah memuncak untuknya kemudian dia menangis.’.”[13]

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Yang sakit dan rasanya hingga ke dalam hati … Dan artinya ialah api tersebut memakan segala sesuatu hingga berujung pada hatinya. Inilah yang dikatakan oleh al-Quradzhi dan al-Kalbi.”[14]

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Muhammad bin Ka’b mengatakan, “Api memperabukan seluruh jasad-jasad mereka. Jika hingga ke hati-hati mereka, mereka diciptakan kembali menjadi badan yang baru. Kemudian api kembali memakannya.’ …Allâh mengkhususkan penyebutan al-af’idah (hati) sebab rasa sakit bila sudah hingga ke hati maka yang mencicipi kesakitan akan mati. Orang-orang ini berada dalam keadaan orang yang seharusnya mati, tetapi mereka tidak mati. Sebagaimana yang Allâh firmankan:

ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ

Kemudian mereka tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup.’[15].”[16]

Dari apa yang diterangkan di atas kita sanggup membayangkan bahwa api yang dinyalakan oleh Allâh di neraka nanti ialah api yang sangat panas, yang akan dengan gampang memperabukan seluruh tubuhnya. Dan apabila sakit dari lahapan api tersebut sudah terasa hingga ke hati, maka dia telah mencicipi puncak dari rasa sakit yang dirasakan oleh manusia, yang seharusnya mereka mengalami kematian, tetapi mereka ternyata tidak mati, sebab Allâh Subhanahu wa Ta’ala terus mengakibatkan mereka hidup biar mereka terus-menerus mencicipi pedihnya azab Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ

Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka

“Sesungguhnya api itu atas mereka mu’shadah” arti mu’shadah dalam ayat ini ialah mughlaqah dan muthbaqah yaitu tertutup rapat atas mereka.

Ibnu Katsir rahimahullah dikala menafsirkan ayat terakhir surat al-Balad (عَلَيْهِمْ نَارٌ مُؤْصَدَةٌ) mengatakan, “Yaitu ditutup rapat di atas mereka, sehingga tidak ada daerah berlari untuk mereka dan mereka tidak sanggup keluar darinya… Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Pintu-pintu tertutup.’ … Adh-Dhahhak mengatakan, ‘Tertutup dinding yang tidak ada pintunya.’ Dan Qatadah mengatakan, ‘Tertutup rapat, sehingga tidak ada cahaya di dalamnya dan tidak ada celah, serta tidak ada yang keluar darinya selama-lamanya.’.”[17]

Dengan demikian kita sanggup memahami bahwa orang-orang tersebut yang diazab oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala , tidak akan sanggup keluar darinya sebab mereka telah dikelilingi dan ditutupi oleh api yang telah ditutup rapat di atas mereka.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ

(Sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

Ini merupakan azab yang diberikan kepada orang-orang yang mempunyai sifat yang disebutkan di dalam ayat ini.

Para Ulama berselisih pendapat dalam mengartikan (فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ) “diikat pada tiang-tiang yang panjang atau dipanjangkan”. Di antara pendapat-pendapat yang disebutkan oleh para ulama ialah sebagai berikut:

1. Tiang-tiang panjang tersebut ditutup rapat di atas mereka. Ini ialah pendapat Muqatil rahimahullah dan salah satu riwayat dari Qatadah rahimahullah.

Muqatil rahimahullah mengatakan, “Pintu-pintu di tutup di atas mereka kemudian ditarik dengan patok-patok dari besi sehingga tidak dibukakan untuk mereka pintu dan tidak ada ruh yang masuk ke mereka.”[18]

Menurut pendapat ini, tiang-tiang inilah yang dipakai untuk menutup pintu-pintu neraka.

2. Allâh memasukkan mereka ke dalam tiang-tiang, kemudian dipanjangkanlah tiang-tiang tersebut dengan satu tiang dan di leher-leher mereka terdapat rantai, kemudian ditutuplah pintu-pintu. Ini ialah pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma .

Menurut pendapat ini, tiang-tiang tersebut dipanjangkan kemudian menjadi daerah bergantung orang-orang tersebut.

3. Yang dimaksud dengan tiang-tiang ialah tiang-tiang yang dipakai untuk mengazab mereka. Ini ialah pendapat Qatadah rahimahullah dalam riwayat lain.

Imam at-Thabari rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang lebih utama ialah pendapat yang menyampaikan bahwa maknanya ialah mereka diazab dengan tiang-tiang di dalam neraka. Allâh-lah yang lebih mengetahui bagaimana cara Allâh mengazab mereka dengan tiang-tiang tersebut. Belum tiba kepada kita kabar yang sanggup dijadikan hujjah yang menyebutkan sifat penyiksaan mereka dengan tiang-tiang tersebut dan tidak juga terdapat dalil yang menyebutkan hal tersebut sehingga kita sanggup mengetahui sifatnya. Dengan demikian, tidak ada perkataan ihwal ini kecuali dalil yang telah kami sebutkan yang berdasarkan kami shahih. Wallâhu a’lam.”[19]

Kesimpulan

Orang yang suka mencela, mengadu domba, meng-ghibah dan menjelek-jelekkan orang lain, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, akan menerima kerugian dan eksekusi yang sangat berat di akhirat.

Allâh mencela orang-orang yang suka “menimbun” hartanya bukan untuk kebaikan atau ketaatan.

Banyaknya harta dan sibuk menghitung-hitungnya sanggup menciptakan orang lupa akan kematian.

Al-huthamah ialah salah satu nama neraka.

Allâh akan mengazab dengan adzab yang sangat pedih, sehingga penghuni neraka akan mencicipi puncak kesakitan, tetapi mereka tidak mati biar mereka sanggup mencicipi terus-menerus azab yang pedih tersebut.

Neraka akan ditutup rapat oleh Allâh, sehingga tidak ada yang sanggup keluar darinya.

Demikian goresan pena ini. Mudah-mudahan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjaga verbal dan badan kita dari mencela orang-orang yang tidak berhak untuk dicela. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsîr. Jaabir bin Musa Al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi. Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Mishriyah.
An-Nihâyah Fi Gharîb Al-Hadits Wa Al-Atsar. Abus-Sa’adât Al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari Ibnul-Atsîr. 1427 H. Dammam: Dâr Ibnil-Jauzi.
Fathul-Qadîr Al-Jâmi’ Baina Fannay Ar-Riwâyah Wad-Dirâyah Min ‘Ilmi At-Tafsîr. Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy-Syaukâni. 1426 H/2005. Al-Manshûrah: Darul-Wafâ’.
Jâmi’ul-Bayân Fii Ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah ar-Risâlah.
Ma’âlimut-Tanzîl. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh: Dâr ath-Thaibah.
Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân Fi Tassîr Kalâmil-Mannân. Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di. Kairo: Darul- Hadits.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

* Pengajar di Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur, Sumatera Selatan (kuncikebaikan.com).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1437H/2017M.]
_______

Footnote

[1] Lihat Aisar At-Tafâsîr hal. 1785-1786.

[2] Yaitu surat yang diturunkan sebelum Nabi n berhijrah dari Mekkah ke Madinah.

[3] Lihat Tafsîr Al-Qurthubi XX/183.

[4] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VIII/526, Tafsîr Al-Qurthubi XX/183 dan Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481.

[5] Maksud dari “apabila mereka dilihat maka Allah diingat” ialah dengan melihat mereka, maka akan sanggup mengingatkan kita kepada Allah dan mengingatkan untuk berzikir kepada-Nya sebab keelokannya, aura indah tubuhnya, kewibawaannya dan bagusnya gerak-gerik dan diamnya. (Lihat An-Nihayah Fî Gharîb Al-Hadîts Wa Al-Atsar hal. 644 dan Faidhul-QadîrIII/616)

[6] HR Ahmad dalam al-Musnad no. 17998 dan al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 323. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahîhah no. 2849, dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk. dalam catatan kaki terhadap Al-Musnad.

[7] Lihat dua perkataan ini di Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481.

[8] Lihat di Tafsîr Al-Qurthubi XX/183.

[9] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VIII/526, Tafsîr Al-Qurthubi XX/183 dan Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481.

[10] Lihat Tafsîr Al-Baghawi VIII/530.

[11] Tafsîr Al-Qurthubi XX/184.

[12] S.d.a.

[13] Tafsîr Ibni Katsîr VIII/481.

[14] Tafsîr Al-Baghawi VIII/530.

[15] QS. Al-A’lâ/87:13.

[16] Tafsîr Al-Qurthubi XX/185.

[17] Tafsîr Ibni Katsîr VIII/409.

[18] Fathul-Qadîr VIII/60

[19] Tafsiir At-Thabari XXIV/600-601.

=================================
al Ustadz Abu Muawiyyah Askari bin Jamal

1.Surat al Humazah 1Archive1.3 MB
2.Surat al Humazah 2Archive1.2 MB

Posting Komentar untuk "Kumpulan Tafsir Al Humazah"