Surah Al Mujaadilah (Wanita Yang Mengajukan Gugatan)
Surah ke-58. 22 ayat. Madaniyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-4: Kisah perempuan yang mengajukan somasi yaitu Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar suaminya mengikuti kebiasaan kaum Jahiliyyah yang mengharamkan istri dengan melaksanakan zhihar.
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (١) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢)وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 1-4
1. [1] [2]Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan somasi kepadamu (Muhammad) wacana suaminya[3], dan mengadukan (halnya) kepada Allah[4], dan Allah mendengar percakapan antara kau berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar[5] lagi Maha Melihat[6].
2. Orang-orang di antara kau yang menzhihar istrinya (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya[7]. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan bahwasanya mereka[8] benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan bahwasanya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun[9].
3. Dan mereka yang menzhihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan[10], maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak[11] sebelum kedua suami istri itu bercampur[12]. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu[13], dan Allah Mahateliti apa yang kau kerjakan[14].
4. Maka barang siapa tidak sanggup (memerdekakan budak)[15], maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak bisa (berpuasa), maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin[16]. Demikianlah[17] biar kau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya[18]. Itulah hukum-hukum Allah[19], dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan menerima azab yang sangat pedih.
Ayat 5-6: Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan kaum mukmin yang berhenti di hadapan hudud (batasan) Allah, maka Dia menyebutkan orang-orang yang melampaui hudud Allah dan menandakan eksekusi untuk mereka.
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ (٥) يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (٦)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 5-6
5. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya[20] pasti menerima kehinaan sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka[21]. Dan sungguh, Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata[22]. Dan bagi orang-orang yang mengingkarinya[23] azab yang menghinakan.
6. Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan Allah[24], kemudian diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan[25]. Allah menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu[26].
Ayat 7-10: Celaan terhadap negosiasi belakang layar yang berisi dosa.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٧) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَيَتَنَاجَوْنَ بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ وَيَقُولُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْلا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ (٨) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلا تَتَنَاجَوْا بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (٩) إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (١٠)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 7-10
7. Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan belakang layar antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada[27]. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
8. Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah dihentikan mengadakan pembicaraan rahasia[28], kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan belakang layar untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada rasul. Dan apabila mereka tiba kepadamu (Muhammad), [29]mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan ibarat yang ditentukan Allah untukmu[30]. Dan mereka menyampaikan pada diri mereka sendiri, "Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?"[31] Cukuplah bagi mereka Jahanam yang akan mereka masuki[32]. Maka neraka itu seburuk-buruk tempat kembali[33].
9. Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kau mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kau membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah wacana perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kau akan dkumpulkan kembali.
10. Sesungguhnya pembicaraan belakang layar itu termasuk (perbuatan) setan[34], biar orang-orang yang beriman itu bersedih hati[35], sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi tragedi sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah[36]. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal[37].
Ayat 11: Sopan santun menghadiri majlis ilmu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 11
11. [38]Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, pasti Allah akan memberi kelapangan untukmu[39]. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu[40],” maka berdirilah[41], pasti Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat[42]. Dan Allah Mahateliti apa yang kau kerjakan[43].
[1] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang hingga kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Segala puji bagi Allah Yang Pendengaran-Nya mencakup segala sesuatu. Sungguh, ada seorang perempuan yang mengajukan somasi tiba kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan Beliau, sedangkan saya berada di pojok rumah, saya tidak mendengar apa yang diucapkannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan somasi kepadamu (Muhammad) wacana suaminya…dst.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhari secara mu’allaq, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Jarir dan Hakim. Ia berkata, “Shahih isnadnya,“ dan didiamkan oleh Adz Dzahabi)
[2] Sebab turunnya ayat ini ialah bekerjasama dengan kasus seorang perempuan berjulukan Khaulah binti Tsa´labah yang telah dizhihar oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan menyampaikan kepada isterinya, “Kamu bagiku ibarat punggung ibuku,” dengan maksud beliau tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah, kalimat Zhihar ibarat itu sama ibarat menalak isterinya. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah. Dalam riwayat yang lain Rasulullah mengatakan, “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengannya.” Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak.” kemudian Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biar menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya.
[3] Yang menzhiharnya, yakni suaminya berkata kepada istrinya, “Engkau bagiku ibarat punggung ibuku.” Atau ibarat mahramnya yang lain selain ibunya. Atau mengatakan, “Engkau bagiku yakni haram.” Dalam menzhihar biasanya disebutkan kata, “zhahr” (punggung), oleh karenanya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menamainya dengan zhihar.
[4] Tentang kesendiriannya, kefakirannya, dan mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya jikalau diserahkan kepada suaminya, maka mereka akan terlantar atau jikalau diserahkan kepada dirinya, tentu anak-anaknya kelaparan. Dan lagi suaminya sudah sangat tua.
[5] Semua bunyi di setiap waktu dan dengan bermacam-macam kebutuhan.
[6] Dia melihat rayapan semut yang hitam di atas kerikil yang hitam di kegelapan malam. Hal ini merupakan pemberitahuan wacana sempurnanya indera pendengaran dan penglihatan-Nya dan mengena kepada semua kasus yang besar maupun kecil. Di dalam kata-kata ini terdapat isyarat, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menghilangkan keluhannya dan mengangkat musibahnya. Oleh lantaran itu, pada ayat selanjutnya Dia menyebutkan aturan tentangnya dan aturan selainnya secara umum.
[7] Maksudnya, bagaimana mereka mengucapkan kata-kata ibarat itu yang sudah maklum tidak ada hakikatnya, mereka samakan istri dengan ibu mereka yang melahirkan mereka. Oleh lantaran itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperbesar kasus itu dan menyebut buruknya dengan firman-Nya, “Dan bahwasanya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.”
[8] Karena zhihar itu.
[9] Terhadap orang yang berbuat zhihar dengan membayar kaffarat atau orang yang terjatuh mengerjakan pelanggaran, kemudian ia susul dengan tobat nashuha.
[10] Para ulama berbeda pendapat wacana makna ‘aud’ (menarik kembali). Ada yang mengatakan, bahwa maknanya yakni berniat untuk menjima’i istrinya yang telah dizhihar, dan bahwa dengan adanya niat untuk kembali, maka ia wajib membayar kaffarat yang disebutkan.” Ada pula yang mengatakan, bahwa ‘aud’ di sini yakni berjima’. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Maksudnya yakni kembali berjima’ atau berniat untuknya, maka tidak halal baginya hingga ia membayar kaffarat ini.”
Al Hasan Al Bashriy berkata, “Maksudnya (haram) menyetubuhi di farjinya.” Menurutnya, tidak mengapa jikalau seseorang bersenang-senang dengan istrinya namun tidak di farjinya sebelum ia membayar kaffarat. Namun berdasarkan Az Zuhri, ia tidak boleh mencium dan menyentuhnya sebelum membayar kaffarat, wallahu a’lam.
[11] Yakni budak yang mukmin, pria atau perempuan dengan syarat harus selamat dari cacat yang sanggup merugikan kerjanya.
[12] Maksudnya, suami tidak boleh menjima’i istri yang beliau zhihar hingga ia membayar kaffarat dengan memerdekakan seorang budak.
[13] Yakni itulah nasihat-Nya kepadamu; Dia menandakan aturan dengan disertai targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman).
[14] Lalu Dia akan memperlihatkan akhir kepada setiap orang yang beramal.
[15] Seperti tidak menemukan budak atau tidak mempunyai biaya untuk memerdekakan budak.
[16] Bisa dengan memberi mereka makan dari makanan pokok wilayahnya yang cukup bagi mereka, bisa juga dengan memperlihatkan setiap seorang miskin satu mud gandum atau setengah sha’ dari selain gandum dari makanan pokok sesuai tempat itu.
[17] Yakni aturan yang diterangkan-Nya kepada kamu.
[18] Yaitu dengan memegang teguh aturan tersebut dan hukum-hukum lainnya dan mengamalkannya, lantaran berpegang dengan hukum-hukum Allah dan mengamalkannya termasuk penggalan dari iman, bahkan yang demikian yakni maksudnya dan menambah keimanan, mengembangkannya dan menyempurnakannya.
[19] Yakni batasan-batasan Allah untuk mencegah biar seseorang tidak terjatuh ke dalamnya, sehingga tidak boleh dilampaui dan diremehkan.
Syaikh As Sa’diy menerangkan, bahwa dalam ayat ini terdapat sejumlah hukum, di antaranya –kami sebutkan secara ringkas-:
- Kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya dan perhatian-Nya kepada mereka, dimana Dia menyebutkan keluhan perempuan itu, kemudian diangkat-Nya dan dihilangkan-Nya, bahkan Dia singkirkan pula dengan hukum-Nya yang umum setiap orang yang tertimpa kasus atau tragedi alam ibarat ini.
- Zhihar hanya khusus kepada istri. Oleh lantaran itu, jikalau seorang menzhihar budaknya, maka itu bukanlah zhihar, bahkan tergolong ke dalam mengharamkan makanan dan minuman yang mubah yang cukup dengan kaffarat sumpah saja.
- Zhihar tidaklah sah terhadap perempuan yang belum dinikahinya lantaran waktu menzhiharnya perempuan itu belum menjadi istrinya, sebagaimana tidak sah juga menalak perempuan yang belum menjadi istrinya.
- Zhihar hukumnya haram, lantaran Allah menamainya sebagai sebuah kemungkaran dan dusta.
- Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam ayat tersebut mengingatkan sisi (sebab) hukumnya dan hikmah-Nya.
- Dimakruhkan seorang suami memanggil istrinya dan menyebutnya dengan nama salah seorang dari mahramnya, ibarat memanggil istrinya, “Umi” (artinya: ibuku), “Ukhti” (Saudariku) dsb. Karena hal itu ibarat dengan mahramnya.
- Kaffarat hanyalah wajib lantaran ‘aud (menarik kembali) ucapan yang diucapkan penzhihar sesuai khilaf wacana maksud ‘aud’ yang sudah disebutkan sebelumnya, bukan semata-mata lantaran zhihar.
- Kaffarat wajib dibayarkan jikalau berupa memerdekakan budak atau berpuasa sebelum berjima’ sebagaimana yang telah Allah batasi dengannya, berbeda dengan kaffarat yang berupa memberi makan, maka boleh menjima’i istri di tengah-tengah memberi makan tersebut.
- Mungkin pesan yang tersirat wajibnya kaffarat sebelum jima’, lantaran yang demikian sanggup mendorong untuk segera membayarkannya, lantaran ketika ia ingin menjima’i istrinya, maka ia sadar bahwa ia mustahil melakukannya kecuali sesudah membayar kaffarat, maka ia pun segera mengeluarkannya atau membayarnya.
- Dalam memberi makan harus enam puluh orang miskin. Oleh lantaran itu, jikalau dikumpulkan makanan untuk 60 orang miskin, tetapi malah diberikan satu, dua atau tiga orang miskin, maka hal itu tidak sah.
[20] Menentang Allah dan Rasul-Nya yakni menyelisihi dan mendurhakai keduanya, kafir kepada keduanya dan memusuhi para wali Allah.
[21] Yang menentang para rasul mereka. Mereka sama sekali tidak mempunyai hujjah di hadapan Allah, lantaran Allah Ta’ala telah menegakkan hujjah-Nya kepada makhluk-Nya, Dia telah menurunkan bukti-bukti yang aktual yang menandakan hakikat dan menandakan maksud, barang siapa yang mengikutinya dan mengamalkannya, maka beliau tergolong orang-orang yang menerima petunjuk dan beruntung.
[22] Yang memperlihatkan kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
[23] Yaitu bukti-bukti yang aktual itu.
[24] Lalu mereka bangun dari kubur dengan segera.
[25] Baik atau buruk. Hal itu, lantaran Dia mengetahuinya dan mencatatnya dalam Lauh Mahfuzh dan memerintahkan para malaikat yang mulia (kiraam kaatibuun) untuk mencatatnya.
[26] Baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Oleh lantaran itu pada ayat selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan wacana luasnya ilmu-Nya dan Dia meliput segala yang ada di langit dan di bumi yang besar maupun yang kecil.
[27] Ma’iyyah (kebersamaan) Allah Subhaanahu wa Ta'aala di sini yakni ma’iyyah ilmu(pengetahuan)-Nya dan meliputnya Dia terhadap apa yang mereka bisikkan dan apa yang mereka sembunyikan di antara mereka.
[28] Pembicaraan belakang layar di sini yakni pembicaraan belakang layar antara dua orang atau lebih, dimana terkadang isi pembicaraannya bisa baik dan bisa buruk. Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam ayat ini memerintahkan kaum mukmin biar membicarakan yang baik saja, yaitu berupa kebaikan dan ketaatan serta memenuhi hak Allah dan hak hamba-Nya. Demikian juga membicarakan ketakwaan, yaitu meninggalkan segala yang haram dan dosa. Oleh lantaran itu, pembicaraan orang mukmin hanyalah terhadap hal yang mendekatkan mereka kepada Allah, menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya. Adapun orang fasik, maka beliau meremehkan perintah Allah, membicarakan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang munafik yang kebiasaannya ibarat itu.
[29] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang hingga kepada Abdullah bin ‘Amr, bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Saam ‘alaika (Kematian atasmu),” kemudian mereka berkata dalam hati mereka, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita terhadap apa yang kita ucapkan?” Maka turunlah ayat ini, “Mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan ibarat yang ditentukan Allah untukmu….dst.” (Hadits ini berdasarkan Haitsami, diriwayatkan oleh Ahmad, Al Bazzar, dan Thabrani dengan isnad yang jayyid, lantaran Hammad mendengar dari ‘Atha’ bin As Saa’ib di ketika ‘Athaa’ masih sehat.”)
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang hingga kepada Aisyah ia berkata, “Ada beberapa orang dari kalangan Yahudi yang tiba kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata, “As Saam ‘alaika (Kematian atamu) wahai Abul Qaasim!” Beliau menjawab, “Wa ‘alaikum (Demikian juga kepada kamu), “ Aisyah berkata, “Bahkan atasmu (wahai orang-orang Yahudi) As Saam (kematian) dan Adz Dzaam (cacat).” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, janganlah kau menjadi orang yang berbicara keji.” Aisyah berkata, “Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?” Beliau menjawab, “Bukankah saya telah mengembalikan kepada mereka apa yang mereka ucapkan? Aku ucapkan, “Wa ‘alaikum (demikian juga kepadamu).”
[30] Yakni mereka beradab jelek ketika mengucapkan salam kepadamu.
[31] Hal ini menunjukkan, bahwa mereka meremehkan kasus tersebut dan berdalih dengan tidak diazabnya mereka bahwa ucapan mereka tidak berbahaya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menandakan sebagaimana dalam lanjutan ayat di atas bahwa Dia memberi tangguh, namun tidak membiarkan begitu saja.
[32] Yakni cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang menghimpun segala kesengsaraan dan azab, dimana mereka akan diazab di dalamnya.
[33] Mereka ini bisa kaum munafik yang menampakkan keimanan yang berbicara dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ucapan tersebut dan memperlihatkan kesan bahwa maksud mereka yakni baik, dan bisa juga bahwa mereka ini yakni kaum Ahli Kitab yang mengucapkan salamnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ucapan “As Saam” (kematian) tanpa abjad laam.
[34] Yakni pada pembicaraan musuh-musuh kaum mukmin terhadap orang-orang mukmin yang isinya makar, tipu saya dan harapan jelek yakni berasal dari setan yang tipu dayanya lemah.
[35] Inilah tujuan dan maksud dari makar itu.
[36] Hal itu, lantaran Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menjanjikan kaum mukmin untuk memperlihatkan kecukupan dan pertolongan-Nya, Dia menjelaskan bahwa makar yang jelek tidaklah menimpa kecuali kepada pelakunya. Oleh lantaran itu, betapa pun mereka telah berbisik-bisik dan menciptakan makar, namun bahayanya kembali menimpa mereka dan tidak membayahakan kaum mukmin kecuali sedikit sesuai yang telah ditentukan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
[37] Yakni bersandar kepada-Nya dan percaya terhadap janji-Nya, lantaran barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya dan mengurus urusan agama dan dunianya.
[38] Ayat ini merupakan santunan budpekerti dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, yaitu apabila mereka berkumpul dalam suatu majlis dan sebagian mereka atau sebagian orang yang tiba butuh diberikan tempat duduk biar diberikan kelapangan untuknya. Hal itu, tidaklah merugikan orang yang duduk sedikit pun sehingga tercapai maksud saudaranya tanpa ada kerugian yang diterimanya. Dan akhir diadaptasi dengan jenis amalan, barang siapa yang melapangkan, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan memperlihatkan kelapangan untuknya.
[39] Di surga.
[40] Untuk shalat tahiyyatul masjid, atau untuk melaksanakan kebaikan lainnya atau lantaran kebutuhan yang muncul.
[41] Agar terwujud maslahat itu, lantaran berdiri dalam hal ibarat ini termasuk ilmu dan iman, dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan meninggikan orang-orang yang arif dan beriman dengan beberapa derajat sesuai yang Allah berikan kepadanya berupa ilmu dan iman.
[42] Di surga.
[43] Oleh lantaran itu, Dia akan membalas setiap orang yang bersedekah dengan amalnya, jikalau baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan jikalau buruk, maka akan dibalas dengan keburukan.
Dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu, dan bahwa penghias dan buahnya yakni mempunyai budpekerti yang baik dan mengamalkan ilmu tersebut.
Surah ke-58. 22 ayat. Madaniyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-4: Kisah perempuan yang mengajukan somasi yaitu Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar suaminya mengikuti kebiasaan kaum Jahiliyyah yang mengharamkan istri dengan melaksanakan zhihar.
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (١) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢)وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 1-4
1. [1] [2]Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan somasi kepadamu (Muhammad) wacana suaminya[3], dan mengadukan (halnya) kepada Allah[4], dan Allah mendengar percakapan antara kau berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar[5] lagi Maha Melihat[6].
2. Orang-orang di antara kau yang menzhihar istrinya (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya[7]. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan bahwasanya mereka[8] benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan bahwasanya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun[9].
3. Dan mereka yang menzhihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan[10], maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak[11] sebelum kedua suami istri itu bercampur[12]. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu[13], dan Allah Mahateliti apa yang kau kerjakan[14].
4. Maka barang siapa tidak sanggup (memerdekakan budak)[15], maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak bisa (berpuasa), maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin[16]. Demikianlah[17] biar kau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya[18]. Itulah hukum-hukum Allah[19], dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan menerima azab yang sangat pedih.
Ayat 5-6: Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan kaum mukmin yang berhenti di hadapan hudud (batasan) Allah, maka Dia menyebutkan orang-orang yang melampaui hudud Allah dan menandakan eksekusi untuk mereka.
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ (٥) يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (٦)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 5-6
5. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya[20] pasti menerima kehinaan sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka[21]. Dan sungguh, Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata[22]. Dan bagi orang-orang yang mengingkarinya[23] azab yang menghinakan.
6. Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan Allah[24], kemudian diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan[25]. Allah menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu[26].
Ayat 7-10: Celaan terhadap negosiasi belakang layar yang berisi dosa.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٧) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَيَتَنَاجَوْنَ بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ وَيَقُولُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْلا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ (٨) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلا تَتَنَاجَوْا بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (٩) إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (١٠)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 7-10
7. Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan belakang layar antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada[27]. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
8. Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah dihentikan mengadakan pembicaraan rahasia[28], kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan belakang layar untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada rasul. Dan apabila mereka tiba kepadamu (Muhammad), [29]mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan ibarat yang ditentukan Allah untukmu[30]. Dan mereka menyampaikan pada diri mereka sendiri, "Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?"[31] Cukuplah bagi mereka Jahanam yang akan mereka masuki[32]. Maka neraka itu seburuk-buruk tempat kembali[33].
9. Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kau mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kau membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah wacana perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kau akan dkumpulkan kembali.
10. Sesungguhnya pembicaraan belakang layar itu termasuk (perbuatan) setan[34], biar orang-orang yang beriman itu bersedih hati[35], sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi tragedi sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah[36]. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal[37].
Ayat 11: Sopan santun menghadiri majlis ilmu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 11
11. [38]Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, pasti Allah akan memberi kelapangan untukmu[39]. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu[40],” maka berdirilah[41], pasti Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat[42]. Dan Allah Mahateliti apa yang kau kerjakan[43].
[1] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang hingga kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Segala puji bagi Allah Yang Pendengaran-Nya mencakup segala sesuatu. Sungguh, ada seorang perempuan yang mengajukan somasi tiba kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan Beliau, sedangkan saya berada di pojok rumah, saya tidak mendengar apa yang diucapkannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan somasi kepadamu (Muhammad) wacana suaminya…dst.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhari secara mu’allaq, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Jarir dan Hakim. Ia berkata, “Shahih isnadnya,“ dan didiamkan oleh Adz Dzahabi)
[2] Sebab turunnya ayat ini ialah bekerjasama dengan kasus seorang perempuan berjulukan Khaulah binti Tsa´labah yang telah dizhihar oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan menyampaikan kepada isterinya, “Kamu bagiku ibarat punggung ibuku,” dengan maksud beliau tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah, kalimat Zhihar ibarat itu sama ibarat menalak isterinya. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah. Dalam riwayat yang lain Rasulullah mengatakan, “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengannya.” Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak.” kemudian Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biar menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya.
[3] Yang menzhiharnya, yakni suaminya berkata kepada istrinya, “Engkau bagiku ibarat punggung ibuku.” Atau ibarat mahramnya yang lain selain ibunya. Atau mengatakan, “Engkau bagiku yakni haram.” Dalam menzhihar biasanya disebutkan kata, “zhahr” (punggung), oleh karenanya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menamainya dengan zhihar.
[4] Tentang kesendiriannya, kefakirannya, dan mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya jikalau diserahkan kepada suaminya, maka mereka akan terlantar atau jikalau diserahkan kepada dirinya, tentu anak-anaknya kelaparan. Dan lagi suaminya sudah sangat tua.
[5] Semua bunyi di setiap waktu dan dengan bermacam-macam kebutuhan.
[6] Dia melihat rayapan semut yang hitam di atas kerikil yang hitam di kegelapan malam. Hal ini merupakan pemberitahuan wacana sempurnanya indera pendengaran dan penglihatan-Nya dan mengena kepada semua kasus yang besar maupun kecil. Di dalam kata-kata ini terdapat isyarat, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menghilangkan keluhannya dan mengangkat musibahnya. Oleh lantaran itu, pada ayat selanjutnya Dia menyebutkan aturan tentangnya dan aturan selainnya secara umum.
[7] Maksudnya, bagaimana mereka mengucapkan kata-kata ibarat itu yang sudah maklum tidak ada hakikatnya, mereka samakan istri dengan ibu mereka yang melahirkan mereka. Oleh lantaran itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperbesar kasus itu dan menyebut buruknya dengan firman-Nya, “Dan bahwasanya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.”
[8] Karena zhihar itu.
[9] Terhadap orang yang berbuat zhihar dengan membayar kaffarat atau orang yang terjatuh mengerjakan pelanggaran, kemudian ia susul dengan tobat nashuha.
[10] Para ulama berbeda pendapat wacana makna ‘aud’ (menarik kembali). Ada yang mengatakan, bahwa maknanya yakni berniat untuk menjima’i istrinya yang telah dizhihar, dan bahwa dengan adanya niat untuk kembali, maka ia wajib membayar kaffarat yang disebutkan.” Ada pula yang mengatakan, bahwa ‘aud’ di sini yakni berjima’. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Maksudnya yakni kembali berjima’ atau berniat untuknya, maka tidak halal baginya hingga ia membayar kaffarat ini.”
Al Hasan Al Bashriy berkata, “Maksudnya (haram) menyetubuhi di farjinya.” Menurutnya, tidak mengapa jikalau seseorang bersenang-senang dengan istrinya namun tidak di farjinya sebelum ia membayar kaffarat. Namun berdasarkan Az Zuhri, ia tidak boleh mencium dan menyentuhnya sebelum membayar kaffarat, wallahu a’lam.
[11] Yakni budak yang mukmin, pria atau perempuan dengan syarat harus selamat dari cacat yang sanggup merugikan kerjanya.
[12] Maksudnya, suami tidak boleh menjima’i istri yang beliau zhihar hingga ia membayar kaffarat dengan memerdekakan seorang budak.
[13] Yakni itulah nasihat-Nya kepadamu; Dia menandakan aturan dengan disertai targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman).
[14] Lalu Dia akan memperlihatkan akhir kepada setiap orang yang beramal.
[15] Seperti tidak menemukan budak atau tidak mempunyai biaya untuk memerdekakan budak.
[16] Bisa dengan memberi mereka makan dari makanan pokok wilayahnya yang cukup bagi mereka, bisa juga dengan memperlihatkan setiap seorang miskin satu mud gandum atau setengah sha’ dari selain gandum dari makanan pokok sesuai tempat itu.
[17] Yakni aturan yang diterangkan-Nya kepada kamu.
[18] Yaitu dengan memegang teguh aturan tersebut dan hukum-hukum lainnya dan mengamalkannya, lantaran berpegang dengan hukum-hukum Allah dan mengamalkannya termasuk penggalan dari iman, bahkan yang demikian yakni maksudnya dan menambah keimanan, mengembangkannya dan menyempurnakannya.
[19] Yakni batasan-batasan Allah untuk mencegah biar seseorang tidak terjatuh ke dalamnya, sehingga tidak boleh dilampaui dan diremehkan.
Syaikh As Sa’diy menerangkan, bahwa dalam ayat ini terdapat sejumlah hukum, di antaranya –kami sebutkan secara ringkas-:
- Kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya dan perhatian-Nya kepada mereka, dimana Dia menyebutkan keluhan perempuan itu, kemudian diangkat-Nya dan dihilangkan-Nya, bahkan Dia singkirkan pula dengan hukum-Nya yang umum setiap orang yang tertimpa kasus atau tragedi alam ibarat ini.
- Zhihar hanya khusus kepada istri. Oleh lantaran itu, jikalau seorang menzhihar budaknya, maka itu bukanlah zhihar, bahkan tergolong ke dalam mengharamkan makanan dan minuman yang mubah yang cukup dengan kaffarat sumpah saja.
- Zhihar tidaklah sah terhadap perempuan yang belum dinikahinya lantaran waktu menzhiharnya perempuan itu belum menjadi istrinya, sebagaimana tidak sah juga menalak perempuan yang belum menjadi istrinya.
- Zhihar hukumnya haram, lantaran Allah menamainya sebagai sebuah kemungkaran dan dusta.
- Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam ayat tersebut mengingatkan sisi (sebab) hukumnya dan hikmah-Nya.
- Dimakruhkan seorang suami memanggil istrinya dan menyebutnya dengan nama salah seorang dari mahramnya, ibarat memanggil istrinya, “Umi” (artinya: ibuku), “Ukhti” (Saudariku) dsb. Karena hal itu ibarat dengan mahramnya.
- Kaffarat hanyalah wajib lantaran ‘aud (menarik kembali) ucapan yang diucapkan penzhihar sesuai khilaf wacana maksud ‘aud’ yang sudah disebutkan sebelumnya, bukan semata-mata lantaran zhihar.
- Kaffarat wajib dibayarkan jikalau berupa memerdekakan budak atau berpuasa sebelum berjima’ sebagaimana yang telah Allah batasi dengannya, berbeda dengan kaffarat yang berupa memberi makan, maka boleh menjima’i istri di tengah-tengah memberi makan tersebut.
- Mungkin pesan yang tersirat wajibnya kaffarat sebelum jima’, lantaran yang demikian sanggup mendorong untuk segera membayarkannya, lantaran ketika ia ingin menjima’i istrinya, maka ia sadar bahwa ia mustahil melakukannya kecuali sesudah membayar kaffarat, maka ia pun segera mengeluarkannya atau membayarnya.
- Dalam memberi makan harus enam puluh orang miskin. Oleh lantaran itu, jikalau dikumpulkan makanan untuk 60 orang miskin, tetapi malah diberikan satu, dua atau tiga orang miskin, maka hal itu tidak sah.
[20] Menentang Allah dan Rasul-Nya yakni menyelisihi dan mendurhakai keduanya, kafir kepada keduanya dan memusuhi para wali Allah.
[21] Yang menentang para rasul mereka. Mereka sama sekali tidak mempunyai hujjah di hadapan Allah, lantaran Allah Ta’ala telah menegakkan hujjah-Nya kepada makhluk-Nya, Dia telah menurunkan bukti-bukti yang aktual yang menandakan hakikat dan menandakan maksud, barang siapa yang mengikutinya dan mengamalkannya, maka beliau tergolong orang-orang yang menerima petunjuk dan beruntung.
[22] Yang memperlihatkan kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
[23] Yaitu bukti-bukti yang aktual itu.
[24] Lalu mereka bangun dari kubur dengan segera.
[25] Baik atau buruk. Hal itu, lantaran Dia mengetahuinya dan mencatatnya dalam Lauh Mahfuzh dan memerintahkan para malaikat yang mulia (kiraam kaatibuun) untuk mencatatnya.
[26] Baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Oleh lantaran itu pada ayat selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan wacana luasnya ilmu-Nya dan Dia meliput segala yang ada di langit dan di bumi yang besar maupun yang kecil.
[27] Ma’iyyah (kebersamaan) Allah Subhaanahu wa Ta'aala di sini yakni ma’iyyah ilmu(pengetahuan)-Nya dan meliputnya Dia terhadap apa yang mereka bisikkan dan apa yang mereka sembunyikan di antara mereka.
[28] Pembicaraan belakang layar di sini yakni pembicaraan belakang layar antara dua orang atau lebih, dimana terkadang isi pembicaraannya bisa baik dan bisa buruk. Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam ayat ini memerintahkan kaum mukmin biar membicarakan yang baik saja, yaitu berupa kebaikan dan ketaatan serta memenuhi hak Allah dan hak hamba-Nya. Demikian juga membicarakan ketakwaan, yaitu meninggalkan segala yang haram dan dosa. Oleh lantaran itu, pembicaraan orang mukmin hanyalah terhadap hal yang mendekatkan mereka kepada Allah, menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya. Adapun orang fasik, maka beliau meremehkan perintah Allah, membicarakan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang munafik yang kebiasaannya ibarat itu.
[29] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang hingga kepada Abdullah bin ‘Amr, bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Saam ‘alaika (Kematian atasmu),” kemudian mereka berkata dalam hati mereka, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita terhadap apa yang kita ucapkan?” Maka turunlah ayat ini, “Mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan ibarat yang ditentukan Allah untukmu….dst.” (Hadits ini berdasarkan Haitsami, diriwayatkan oleh Ahmad, Al Bazzar, dan Thabrani dengan isnad yang jayyid, lantaran Hammad mendengar dari ‘Atha’ bin As Saa’ib di ketika ‘Athaa’ masih sehat.”)
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang hingga kepada Aisyah ia berkata, “Ada beberapa orang dari kalangan Yahudi yang tiba kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata, “As Saam ‘alaika (Kematian atamu) wahai Abul Qaasim!” Beliau menjawab, “Wa ‘alaikum (Demikian juga kepada kamu), “ Aisyah berkata, “Bahkan atasmu (wahai orang-orang Yahudi) As Saam (kematian) dan Adz Dzaam (cacat).” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, janganlah kau menjadi orang yang berbicara keji.” Aisyah berkata, “Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?” Beliau menjawab, “Bukankah saya telah mengembalikan kepada mereka apa yang mereka ucapkan? Aku ucapkan, “Wa ‘alaikum (demikian juga kepadamu).”
[30] Yakni mereka beradab jelek ketika mengucapkan salam kepadamu.
[31] Hal ini menunjukkan, bahwa mereka meremehkan kasus tersebut dan berdalih dengan tidak diazabnya mereka bahwa ucapan mereka tidak berbahaya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menandakan sebagaimana dalam lanjutan ayat di atas bahwa Dia memberi tangguh, namun tidak membiarkan begitu saja.
[32] Yakni cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang menghimpun segala kesengsaraan dan azab, dimana mereka akan diazab di dalamnya.
[33] Mereka ini bisa kaum munafik yang menampakkan keimanan yang berbicara dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ucapan tersebut dan memperlihatkan kesan bahwa maksud mereka yakni baik, dan bisa juga bahwa mereka ini yakni kaum Ahli Kitab yang mengucapkan salamnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ucapan “As Saam” (kematian) tanpa abjad laam.
[34] Yakni pada pembicaraan musuh-musuh kaum mukmin terhadap orang-orang mukmin yang isinya makar, tipu saya dan harapan jelek yakni berasal dari setan yang tipu dayanya lemah.
[35] Inilah tujuan dan maksud dari makar itu.
[36] Hal itu, lantaran Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menjanjikan kaum mukmin untuk memperlihatkan kecukupan dan pertolongan-Nya, Dia menjelaskan bahwa makar yang jelek tidaklah menimpa kecuali kepada pelakunya. Oleh lantaran itu, betapa pun mereka telah berbisik-bisik dan menciptakan makar, namun bahayanya kembali menimpa mereka dan tidak membayahakan kaum mukmin kecuali sedikit sesuai yang telah ditentukan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
[37] Yakni bersandar kepada-Nya dan percaya terhadap janji-Nya, lantaran barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya dan mengurus urusan agama dan dunianya.
[38] Ayat ini merupakan santunan budpekerti dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, yaitu apabila mereka berkumpul dalam suatu majlis dan sebagian mereka atau sebagian orang yang tiba butuh diberikan tempat duduk biar diberikan kelapangan untuknya. Hal itu, tidaklah merugikan orang yang duduk sedikit pun sehingga tercapai maksud saudaranya tanpa ada kerugian yang diterimanya. Dan akhir diadaptasi dengan jenis amalan, barang siapa yang melapangkan, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan memperlihatkan kelapangan untuknya.
[39] Di surga.
[40] Untuk shalat tahiyyatul masjid, atau untuk melaksanakan kebaikan lainnya atau lantaran kebutuhan yang muncul.
[41] Agar terwujud maslahat itu, lantaran berdiri dalam hal ibarat ini termasuk ilmu dan iman, dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan meninggikan orang-orang yang arif dan beriman dengan beberapa derajat sesuai yang Allah berikan kepadanya berupa ilmu dan iman.
[42] Di surga.
[43] Oleh lantaran itu, Dia akan membalas setiap orang yang bersedekah dengan amalnya, jikalau baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan jikalau buruk, maka akan dibalas dengan keburukan.
Dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu, dan bahwa penghias dan buahnya yakni mempunyai budpekerti yang baik dan mengamalkan ilmu tersebut.
Posting Komentar untuk "Kumpulan Tafsir Al Mujadilah Ayat 1-11"